

FAJARNUSANTARA.COM, SUMEDANG – Masyarakat Indonesia, diwajibkan oleh pemerintah untuk melakukan tes antigen bila akan bepergian ke sejumlah daerah maupun tempat wisata. Hal ini dilakukan guna menekan transmisi Covid-19 menjelang libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2021.
Dosen Departemen Patologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), Basti Andriyoko, dr., Sp.PK(K), menjelaskan tentang tujuan tes antigen itu. Yakni, untuk mendiagnosis keberadaan virus pada tubuh sampel. Meski sama-sama mendeteksi adanya virus, tes antigen itu memiliki perbedaan dengan tes Polymerase Chain Reaction (PCR).
“Kondisi saat ini, untuk mendiagnosis apakah dia terinfeksi atau tidak, mau tidak mau sekarang harus dicari virusnya,” ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima Fajarnusantara dari Humas Unpad.
Disebutkan, tes antigen dan PCR, memiliki karakteristik tersendiri. Tes PCR, kata Basti, akan mencari materi genetik dari virus, yaitu RNA-nya. Karakteristik itu menjadikan sensitivitas atau akurasi dari tes PCR, lebih tinggi dibandingkan tes antigen.
Namun, sebut Basti, tes PCR tak bisa membedakan apakah virus itu masih hidup atau sudah mati. Sebab, tes PCR dapat mendeteksi keberadaan virus pada awal target terkonfirmasi positif ataupun sudah dinyatakan sembuh.
“Karena itu, banyak orang yang sudah dikarantina lebih dari dua minggu, tetapi ketika dilakukan swab hasilnya masih positif. Pada kasus ini, bisa saja PCR mendeteksi RNA virus yang sudah mati,” sebutnya.
Untuk tes antigen, lanjut Basti, hanya mendeteksi keberadaan virus utuh. Tes itu mencari bagian terluar dari virus. Karena mendeteksi virus utuh, maka antigen efektif dilakukan di fase awal atau minggu pertama seseorang terkena Covid-19. Jika diperiksa, kemungkinan hasil positifnya tinggi.
Sehingga bila dibandingkan, kata dia, akurasi tes PCR tetap lebih baik dibanding tes antigen. Hal itu menjadikan tes PCR menjadi gold standar dalam menentukan apakah seseorang positif Covid-19 ataupun negatif.
“Akurasi PCR bisa sampai 95%, sedangkan antigen ini akan ada miss 10-15%,” imbuhnya.
Lantas, mengapa pemerintah mewajibkan tes antigen untuk masyarakat yang akan bepergian? Disebutkan Basti, ada beberapa pertimbangan jika dilihat dari sisi keterjangkauan dan efisiensi pengujian.
Menurutnya, belum semua daerah ataupun masyarakat dapat mendapatkan akses untuk tes PCR. Pengujian sampel PCR, juga belum merata dilakukan di semua laboratorium. Pengujian sampelnya pun memerlukan laboratorium khusus dan fasilitas yang lengkap serta tenaga ahli.
“Lab sendiri punya kapasitas maksimal pemeriksaan. Jika banyak, hasilnya bisa keluar 2 – 3 hari,” kata Basti.
Antigen relatif lebih mudah pemeriksaannya. Pengujian relatif tidak membutuhkan sarana prasarana yang lengkap walau tetap memerlukan persyaratan yang wajib dipenuhi. Sampel bisa diuji di tempat terbuka tanpa harus dikerjakan di dalam laboratorium.
Hasil dari tes antigen juga terbilang cepat, bergantung pada reagennya. Hal ini yang menjadikan tes ini relatif lebih mudah diakses banyak orang.
Walau terbilang lebih mudah, akademisi tetap menyarankan bahwa tes PCR merupakan upaya terbaik jika dilihat dari tingkat akurasinya. WHO sendiri memberikan pilihan untuk menetapkan tes antigen jika di suatu wilayah memiliki kesulitan dalam mengakses tes PCR.
“Tes antigen masih lebih baik daripada orang tidak periksa sama sekali terus melakukan perjalanan. Itu yang lebih bahaya,” tutupnya. (**)