
FAJARNUSANTARA.COM- Alih fungsi lahan perkebunan dan kehutanan di Jawa Barat kembali menjadi sorotan. Kawasan tanaman teh milik PTPN dan hutan produksi yang dikelola Perhutani disebut-sebut mulai masif diubah menjadi lahan hortikultura atau tanaman semusim.
Aktivis lingkungan menilai perubahan fungsi ini bukan hanya menyalahi aturan, tetapi juga berpotensi merugikan negara secara ekologis dan ekonomis.
Pembina Gelap Nyawang Nusantara (GNN), Asep Riyadi, mengungkapkan keprihatinannya dalam sebuah kegiatan diskusi publik tentang alih fungsi lahan yang digelar di Bandung, akhir pekan lalu.
“Mereka merusak lahan teh yang seharusnya tidak bisa dimanfaatkan di bawah tegakannya. Ini sudah jelas melanggar aturan tata ruang dan bisa dikategorikan pidana,” kata Asep, Sabtu, 23 April 2025.
Asep menjelaskan, pengalihan fungsi lahan ini terjadi atas kerja sama antara pengelola dan bandar besar yang mampu menguasai lahan dalam skala puluhan hingga ratusan hektare.
Padahal, lanjutnya, surat keputusan (SK) dari pemerintah pusat yang menjadi dasar pengelolaan sudah tegas menyebutkan bahwa jenis tanaman yang diusahakan adalah tanaman tahunan seperti teh dan kayu-kayuan.
“Ini bisa jadi pelanggaran pidana tata ruang. Saya kira sudah waktunya Kejaksaan Agung dan Mabes Polri turun tangan untuk menyidik,” tegasnya.
Ia mencontohkan pendekatan hukum pada kasus kejahatan tambang timah yang menimbulkan kerugian lingkungan. Menurutnya, pendekatan serupa bisa diterapkan pada kasus alih fungsi lahan ini, termasuk menuntut ganti rugi dari para pelaku.
“Bisa dihitung kerugiannya secara ekologis oleh ahli independen, lalu dibebankan kepada pengelola dan mitranya,” kata Asep.
Ia juga menekankan pentingnya dukungan dari berbagai pihak, termasuk Kementerian ATR/BPN, KLHK, serta pemerintah daerah seperti Gubernur Jawa Barat dan para bupati. Menurutnya, langkah hukum yang tegas akan memberikan efek jera dan menjadi pengingat pentingnya menjaga fungsi lahan sesuai peruntukan.
“Tuhan menciptakan alam Indonesia, khususnya Jawa Barat, bukan untuk dirusak oleh keserakahan penguasa dan pengusaha jahat. Tapi untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi seluruh makhluk hidup secara lestari,” ujarnya.
Asep menutup dengan seruan moral, “Melawan dengan menanam. Nata Alam Ku Budaya Melak Tangkal. Bedebah buat para pengundang bencana. Salam Lestari.”**