FAJARNUSANTARA.COM, BANDUNG – DPR RI, secara tiba-tiba mengesahkan Rancangan Undang Undang Omnibus Law tentang Cipta Kerja menjadi UU pada 3 Oktober 2020. RUU yang kontroversial ini, seolah ada upaya percepatan pembahasan, agar segera disahkan menjadi UU.
Namun faktanya, banyak pasal yang sangat merugikan masyarakat. Khususnya kaum pekerja/buruh selaku objek dari pelaksanaan UU tersebut. Dan beberapa pasal yang termaktub dalam RUU Cipta Kerja, dinilai sangat bertentangan dan merugikan kaum pekerja/buruh.
“Contohnya, dalam Pasal 156, pengusaha membayar uang pesangon hanya diberikan standar maksimum, bukan minimum. Artinya, boleh saja uang pesangon diberikan sangat rendah dibanding dengan batas maksimal pemberian uang pesangon berdasarkan aturan yang berlaku,” kata Ketua Pansus II DPRD Jabar, Anwar Yasin dalam keterangan tertulisnya yang diterima Fajarnusantara.com, Rabu (7/10).
Disebutkan Anwar, bila ada pekerja yang telah bekerja selama satu tahun terkena PHK, maka perusahaan hanya berkewajiban untuk membayar pesangon maksimal sebesar satu bulan gaji dari pekerja tersebut. Sedangkan untuk ketentuan batas minimal pemberian uang pesangon oleh perusahaan kepada pekerja yang terkena PHK, itu tidak diatur dalam UU Cipta Kerja.
“Tentu aturan tersebut sangat merugikan pihak pekerja/buruh selaku objek dari aturan,” tuturnya.
Menurutnya, perusahaan selaku pihak yang memiliki kewajiban untuk memberikan pesangon kepada karyawan yang terkena PHK, dapat memberikan uang pesangon sesuai dengan keinginan mereka. Sehingga bukan sesuai dengan kebutuhan dari pekerja.
“Kondisi itu sangat rentan sekali terjadi penyelewengan dan kesewenangan pihak perusahaan terhadap pekerja,” katanya.
Dia melanjutkan, pada Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, mewajibkan negara untuk melindungi kaum yang rentan. Kaum yang rentan itu, dimaksudkan bagi kelompok yang tidak dapat menolong dirinya sendiri atau pihak yang rawan terhadap diskriminasi. Dan dalam konteks hubungan antara perusahaan dan para pekerja, maka pihak yang rentan terkena perlakuan diskriminasi adalah para pekerja/buruh.
“Karena yang memegang kekuasaan dalam suatu perusahaan adalah para pengusaha/pemilik usaha. Sedangkan orang yang bekerja/buruh hanya menaati segala aturan yang ada di dalam perusahaan tersebut,” tuturnya.
Dengan diberlakukannya UU Cipta Kerja itu, lanjut Ketua Pansus II DPRD Jabar, maka negara seolah sedang melanggenggkan praktek diskriminasi yang dilakukan para pengusaha terhadap pekerja/buruh. UU ini, menjadi angin segar bagi para pengusaha, namun menjadi mimpi buruk bagi para pekerja.
“Jika dapat diasumsikan, pemerintah sedang mempertontonkan kekuasaan oligarki, pemerintahan yang berdiri dari sumbangsih para pengusaha dan diatur demi kepentingan mereka,” sebutnya.
Jika DPR merupakan anggota masyarakat yang mewakilkan masyarakat untuk berdiri mewakilkan segala aspirasi rakyat, maka kepada siapa UU Cipta Kerja diperuntukkan. Dan akhirnya, kata Anwar, kekuasaan hanyalah diperuntukkan bagi mereka yang memiliki dana, bukan bagi mereka yang lantang bersuara.
“DPR hanya bertugas untuk menampung aspirasi korporat, bukan pendengar suara rakyat. Produk DPR yang bernama UU Cipta Kerja menjadi celah legal bagi para oligarki untuk berdiri diatas rakyat sendiri dan hanya sekedar menebar janji yang tak pernah terealisasi,” tukasnya. (**)