Tolak RUU Penyiaran : Pemerintah Jangan Batasi Standar Kebenaran dan Moralitas Produk Jurnalistik
FAJARNUSANTARA.COM, Sumedang – Polemik Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran, baru-baru ini ramai dengan sejumlah penolakan oleh para jurnalis dan aktivis Mahasiswa, beberapa pasal dinilai tidak berpihak kepada jurnalis, seperti Pasal 50 B ayat 2 dalam RUU Penyiaran dinilai akan mengancam kebebasan pers, konten kreator, pasal 8A, pasal 34F dan banyak pasal-pasal lainnya, Rabu (29/5/2024).
“Yang paling menjadi highlight tentunya, ya pelarangan investigasi jurnalistik, jelas bila ada pelarangan seperti demikian muaranya kemana, dan kita bisa lihat sudah banyak produk jurnalisme investigasi yang berhasil membongkar kejahatan oknum pejabat kita,” kata Jurnalis salahsatu media, Ridwan Marwansyah.
Ridwan mengatakan, RUU Penyiaran tersebut dirancang untuk merevisi UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang dinilai sudah tidak relevan, hanya bisa mengatur televisi dan radio, dan RUU tersebut mulai akan di sahkan oleh DPR RI Periode ini.
“Iyaa, RUU Penyiaran itu untuk merevisi UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang katanya sudah tidak relevan, sepertinya akan di sahkan oleh DPR periode ini,” tambah Ridwan yang juga merupakan mantan seorang aktivis Mahasiswa Sumedang.
Pemerintah secara tidak langsung lanjut Ridwan, ingin meregulasi platform Over The Top (OTT), seperti media sosial, dimana tidak hanya wartawan yang menggunakannya.
“Jelas sampai platform OTT saja yang kita bayar sendiri dan tidak sedikitpun di bayarkan oleh pemerintah, mereka ingin mengaturnya, kasian para konten kreator banyak batasan tertentu, dengan mengatakan harus sama-sama memberikan edukasi untuk masyarakat, masalah moral dan kebenaran, pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan keyakinan kepada masyarakat,” katanya.
Ridwan menjelaskan dampak RUU Penyiaran ini terhadap konten kreator yang berkarya dalam media sosial diantaranya, di dalam Pasal 8A dan 34F yang mengharuskan konten kreator memverifikasikan kontenya ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
“Sebetulnya agak khwatir dampak RUU ini terhadap konten kreator, bahkan beberapa media yang fokus di website pun sudah ikut menggunakan media sosial, contohnya di Pasal 8A ayat 1 poin c bahwa KPI berwenang mengeluarkan tanda lulus kelayakan isi siaran, dan di pasal 34F ayat 2 poin e yaitu harus melakukan verifikasi Konten Siaran ke KPI, terbayangkan sekaku itu menjadi konten kreator,” tambahnya.
Ridwan juga menyebutkan selain itu, para konten kreator harus mematuhi Standar Isi Siaran (SIS), di pasal 50B ayat 2 merupakan batasan-batasan kaku pada konten digital.
“Konten kreator harus mematuhi SIS yang dimana terdapat di pasal 50B ayat 2 poin d sampai k, konten digital tidak lagi bisa menampilkan unsur kekerasan, rokok juga sudah dilarang tayang di konten digital, dan unsur mistis, saya kasian dengan konten kreator yang punya konten membahas tentang sejarah kental dengan mistik, ini pasti menimbulkan sensor yang berlebihan,” ucapnya.
Ridwan membahas tentang cara berbahasa yang benar dalam RUU Penyiaran pasal 37 ayat 1, dimana konten kreator sudah tidak leluasa lagi mengekspresikan karya pada kontennya.
“Ya, untuk pasal 37 ini saya engga bisa membayangkan bagaimana konten kreator yang biasanya menggunakan kemasan-kemasan bahasa yang kekinian dan menarik, sekarang harus menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, lucu ketika dibayangkan, seluruh konten kaku, serasa persentasi sidang skripsi,” ucap Ridwan.
Terakhir, Ridwan menegaskan bilamana RUU Penyiaran tersebut disahkan dirinya merasa keberatan dan akan menolak seperti penolakan-penolakan yang terjadi di banyak daerah.
“Dengan tegas saya berada di barisan para jurnalis dan mahasiswa yang menolak pengesahan RUU Penyiaran ini, sebagaimana penolakan yang masif di daerah-daerah lain,” pungkasnya.