FAJARNUSANTARA.COM- Konflik antara para pedagang Pasar Semi Modern Resik Jatinangor, yang terletak di Desa Cibeusi, Kecamatan Jatinangor, Sumedang, dengan pengelola lama terus memanas. Pedagang menuding ada kejanggalan dalam pengelolaan lahan dan keuangan oleh pengelola lama.
Pengelola Pasar Semi Modern Resik Jatinangor, Dadang Rohmawan, bersama dengan pengurus lama, seperti Joko Loyor (Ketua) dan H. Nana (Sekretaris), menegaskan bahwa mereka hanya menjalankan tugas sesuai prosedur yang berlaku.
“Mereka berbicara tentang kondisi sekarang, tapi tidak pernah membahas sejarah berdirinya pasar ini,” ujar Dadang.
Ia menjelaskan, pasar ini didirikan oleh para pedagang eks Pasar Cileunyi yang tidak setuju dengan revitalisasi pasar oleh Pemkab Bandung, sehingga mereka pindah ke Jatinangor.
Saat itu, 49 pedagang mendirikan bangunan di lahan milik Haji Bustam tanpa izin. “Pemerintah daerah khawatir pasar akan menjadi kumuh dan rawan kebakaran,” tambah Dadang.
Akhirnya, ia membantu para pedagang membangun pasar semi modern agar tetap bisa berjualan.
Namun, masalah muncul saat para pedagang ingin memiliki sertifikat kepemilikan lahan. Dengan bantuan pengelola lama, pedagang disarankan untuk membeli lahan dengan cara kredit melalui bank BJB. Dari total 67 pedagang, hanya 49 yang ikut mencicil, namun terjadi kemacetan pembayaran hingga dua tahun.
Dadang yang saat itu menjabat sebagai anggota DPRD Sumedang tidak bisa fokus mengelola pasar. Akibatnya, cicilan pasar ke BJB sempat kolaps, dan pasar hampir disita oleh bank.
Namun, Dadang bersama pengurus lainnya berhasil merestrukturisasi utang, memperpanjang tenor menjadi 12 tahun, dan akhirnya cicilan tersebut lunas.
Setelah pelunasan, sertifikat SHBG (Sertifikat Hak Guna Bangunan) untuk 49 pedagang dikeluarkan oleh BPN. Dadang menegaskan, perubahan dari SHM ke SHGB adalah kebijakan dari BPN dan BJB, bukan dari pihak pengelola.
“Tidak mungkin SHM menjadi SHM untuk usaha. SHM ke SHGB itu untuk usaha bersama, bukan pribadi. Kalau keberatan, somasi saja ke BPN,” tegas Dadang.
Menurutnya, dari 67 pedagang, hanya 49 yang mendapatkan SHGB karena mereka yang mencicil ke BJB.
“Kalau ada yang masih pro kontra, itu karena tidak semua pedagang setuju dengan KPJ. Saya hanya melaksanakan tugas sesuai prosedur,” pungkasnya.**